Oleh: Ansyori Ali Akbar
Mentari belum sepenuhnya menampakkan diri, hanya semburat jingga tipis di ufuk timur, saat aku memulai perjalanan. Mobil Tua mengantarku menyusuri jalan berkelok di bibir Bukit Barisan, menuju Lampung Barat, (Lambar), Tujuannya satu: secangkir kopi di bibir bukit.
Udara pagi masih dingin menusuk tulang. Embun masih membasahi dedaunan hijau yang rimbun di kanan kiri jalan. Aroma kabut dan angin segar serta dedaunan yang khas menyapa indra penciumanku. Sesekali, kabut tipis menari-nari, seakan enggan melepaskan diri dari puncak-puncak bukit yang menjulang tinggi.
Perjalanan ini bukan sekadar perjalanan fisik, tapi juga perjalanan jiwa. Setiap tikungan, setiap tanjakan, seakan membawa aku lebih dekat kepada kedamaian yang kucari. Jauh dari hiruk pikuk kota, di sini hanya ada suara alam yang menenangkan: kicau burung, desiran angin, dan gemericik air terjun kecil yang mengalir di tepi bukit.
Akhirnya, terlihatlah sebuah warung kecil, sederhana, namun penuh pesona. Terletak di bibir bukit wilayah Krui Pesisir Barat dengan pemandangan hamparan hijau sejauh mata memandang. Di warung itulah, secangkir racikan kopi tubruk yang khas dengan aroma menggoda, yang di sajikan oleh Aak Yadi Panggilan sang penjaja kopi.
Aroma kopi robusta yang khas langsung menyambut ku. Kopi tubruk, diseduh dengan cara tradisional, tanpa embel-embel modern. Rasanya? Amboi sungguh luar biasa! Pahitnya pas, sedikit asam, dan meninggalkan sensasi hangat yang menyelimuti seluruh tubuh. Rasanya seperti meminum seluruh keindahan alam Krui , Pesisir Barat Lampung.
Sambil menyeruput kopi, aku menikmati pemandangan. Kabut pagi mulai menipis, menyingkap keindahan alam yang tersembunyi. Daun dan pepohonan yang menghijau, diselingi nyanyian burung dan jeritan beruk (Monyet Besar) di kejauhan, terlihat puncak-puncak gunung yang gagah perkasa.
Pemilik warung, seorang seorang pemuda yang ramah, tersenyum melihatku menikmati kopi. Ia bercerita tentang kehidupan dan perjuangannya untuk melestarikan alam , tentang perjuangannya sehari-hari, tentang kopi yang ditanamnya sendiri. Ceritanya sederhana, namun penuh makna.
Secangkir kopi di bibir bukit Barisan menuju Liwa , Lambar, lebih dari sekadar minuman. Ia adalah pengalaman, sebuah perjalanan, dan kenangan yang tak akan pernah kulupakan. Ia adalah perpaduan sempurna antara keindahan alam, keramahan penduduk, dan secangkir kopi yang luar biasa. Suatu pengalaman yang membuatku ingin kembali lagi dan lagi.