Oleh :Ansyori Ali Kabar
Panaragan, Tulang Bawang Barat Lampung , Seruntingnews– Di jantung ibukota Kabupaten Tulang Bawang Barat, bukan kemegahan yang terpancar, melainkan ratapan bisu. Bukan ledakan dramatis, melainkan kematian perlahan sebuah warisan: relief budaya Tiyuh Panaragan. Karya agung yang seharusnya menjadi saksi bisu sejarah, kini hanya puing-puing terlupakan, terpendam dalam pelukan rumput liar dan bayang-bayang pepohonan kecil yang seakan turut menangisinya.
Relief itu, tersembunyi di ujung jalan menuju Jantung Ibu kota Kabupaten Tulang Bawang Barat, bagai mayat terbuang. Rumput-rumput liar, seperti tangan-tangan tak kasat mata, merambati pondasinya, mencengkeram batu-batu yang mulai lapuk. Pohon-pohon kecil, bak duka yang membayangi, menjatuhkan bayangannya yang suram, semakin menenggelamkan relief dalam kesunyian yang mencekik. Cahaya matahari pun enggan menyentuh keindahan yang tersisa, seolah malu menyaksikan kehancuran ini.
Lebih dari lumut yang merayap, lebih dari cat yang memudar, lebih dari batu yang retak, ini adalah tragedi kolektif! Kegagalan kita yang memilukan dalam menghargai jejak leluhur. Kegelapan yang menyelimuti relief itu bukan sekadar kegelapan fisik, melainkan kegelapan batin, kegelapan moral yang menampar nurani kita. Ini adalah penghinaan terhadap sejarah, pengkhianatan terhadap warisan!
Bayangkan! Setiap lekuk, setiap detail relief menyimpan sejuta cerita, sejuta pengetahuan, nilai, dan tradisi. Namun, semua itu kini terancam sirna, terkubur dalam debu sejarah, terlupakan dalam bisikan angin yang berbisik pilu.
Ini bukan sekadar masalah estetika, bukan hanya soal perawatan fisik. Ini adalah krisis identitas yang mengoyak jiwa! Relief itu bukanlah sekadar batu, melainkan representasi jati diri, akar budaya sebuah komunitas. Dengan membiarkannya hancur, kita menghancurkan bagian terpenting dari memori kolektif kita sendiri!
Ketiadaan tindakan nyata dari pemerintah daerah adalah tamparan keras bagi nurani kita. Apakah pembangunan hanya diukur dari angka-angka statistik dan beton semata? Apakah nilai-nilai budaya, warisan leluhur, tak berarti apa-apa?
Relief di Tiyuh Panaragan adalah cermin yang memantulkan wajah kita yang memalukan. Wajah yang menunjukkan betapa mudahnya kita melupakan akar, melupakan jati diri. Elegi batu ini, jika dibiarkan berlanjut, akan menjadi noda abadi dalam sejarah Tulang Bawang Barat. Noda yang mencatat bagaimana sebuah warisan berharga mati perlahan, ditelan ketidakpedulian dan kelalaian, terkubur dalam kesunyian yang memilukan di antara rumput liar dan bayang-bayang pepohonan yang turut meratapinya.