Oleh: Dedi Miryanto, S.E., M.Si.
ASN Kabupaten Lampung Selatan | Pengurus FKBN Lampung
Persoalan parkir sering dianggap remeh. Padahal, jika dikelola dengan benar, sektor ini bisa menjadi lokomotif kecil bagi peningkatan pendapatan daerah sekaligus pemberdayaan ekonomi lokal. Sayangnya, praktik di lapangan menunjukkan dominasi pihak tertentu, lemahnya sistem pelaporan, hingga minimnya partisipasi warga.
Sudah saatnya kita menggeser paradigma: dari parkir sebagai lahan retribusi semata menjadi ruang belajar tata kelola partisipatif. Pengelolaan parkir berbasis komunitas—baik melalui BUMDes, koperasi warga, atau paguyuban lokal—telah terbukti lebih efisien dan adil. Kota Garut, Tegal, dan Bengkulu menjadi contoh keberhasilan pendekatan ini.
Di tingkat desa, peluangnya jauh lebih besar. Banyak desa wisata dan pasar lokal memiliki potensi parkir yang strategis, namun belum tersentuh sistem manajemen yang modern dan transparan. Padahal, UU Desa memberi ruang luas bagi masyarakat untuk mengelola aset lokal secara demokratis.
Pemerintah daerah perlu hadir bukan untuk mengambil alih, tetapi membina dan mengawasi. Mulai dari pelatihan pengelolaan keuangan, penerapan aplikasi digital, hingga rotasi pengurus agar tidak terjadi monopoli. Di sisi lain, transparansi laporan dan akuntabilitas publik harus menjadi budaya baru.
Pengelolaan parkir bukan soal tempat kendaraan berhenti. Ini soal bagaimana negara dan warga berkolaborasi mengelola ruang publik secara adil dan berkelanjutan. Dari kota hingga desa, dari pasar hingga tempat wisata, parkir bisa menjadi sekolah kecil demokrasi ekonomi—asal kita serius membinanya.
(Amr)