Oleh : Ansyori Ali Akbar |7April 2025.
(Penikmat Kopi Tanpa Gula)
DI tengah menjulangnya ikon-ikon pembangunan yang menjadi simbol keberhasilan pembangunan di Tulang Bawang Barat, tersimpan kisah pilu Menak Ibu. Pemerintah daerah selalu dipuji, laporan BPK selalu wajar tanpa pengecualian dan penghargaan berjejer rapi. Berbagai program, termasuk yang jauh sebelum Dana Desa, dan berbagai program yang disebut “mantra penanggulangan kemiskinan” yang sudah berjalan kala itu .Program-program yang seringkali lebih berupa jargon dan janji daripada solusinyata.diharapkan meningkatkan kesejahteraan. Bayangan rumah layak huni baginya hanyalah fatamorgana. Sembilan tahun. Sembilan tahun harapannya memudar, air mata mengering, terkadang dalam keadaan perut keroncongan akibat pendapatan yang tidak menentu sebagai buruh serabutan, doa-doanya lirih bergema di gubuk reyot yang menjadi saksi bisu perjuangannya. Lantai tanah yang dingin menusuk tulang, atap bocor membasahi tubuhnya saat hujan deras, angin malam menerpa kulitnya yang keriput. Bau tanah basah dan kayu lapuk memenuhi hidungnya. Rasanya, hanya nasi hambar yang sedikit, pahitnya kehidupan yang tak kunjung berubah.
Desiran angin malam menerpa dinding-dinding rumahnya yang rapuh, suara hujan yang menetes membasahi tanah yang dingin, aroma kayu lapuk dan tanah basah yang menusuk hidung. Ini bukan sekadar berita; ini potret kemiskinan yang menyayat. Gedung-gedung megah menjulang tinggi, simbol keberhasilan, namun di baliknya, Menak Ibu berjuang di tengah keterbatasan, doanya lirih di tengah keroncongan perut yang kosong. Kesenjangan pembangunan fisik dan kesejahteraan masyarakat begitu nyata. Program-program “mantra” itu, dengan segala jargon dan janjinya, tampaknya gagal menjangkau Menak Ibu dan mungkin masih ada Menak Ibu lainnya yang hidup dalam kemiskinan.
Gemerlap pembangunan di Tulang Bawang Barat menawarkan citra kemajuan yang menawan. Namun, Menak Ibu dan banyak warga lainnya masih berjuang melawan kemiskinan. Apakah ini hanya janji politik? Nuansa politik terasa kental, seakan keberhasilan pembangunan lebih diutamakan daripada kesejahteraan rakyat.
Pertanyaan besar muncul Seberapa efektif program pemerintah menjangkau masyarakat paling bawah ?
Program bedah rumah, efektifkah dan merata ?
Adakah kepentingan politik yang mengaburkan fokus pada kesejahteraan rakyat ?
Mengapa, meskipun ada program-program “mantra” kala itu untuk penanggulangan kemiskinan dan fasilitas lainnya, Menak Ibu masih hidup dalam kemiskinan ?
Kisah Menak Ibu bukan sekadar angka dan data, melainkan jeritan hati nurani. Keberhasilan pembangunan harus diukur dari dampaknya terhadap kehidupan rakyat, bukan hanya dari laporan dan penghargaan. Jangan sampai pembangunan hanya diukur dari keindahan ikon-ikonnya, sementara sebagian besar masyarakat masih hidup dalam kekurangan. Kesenjangan pembangunan fisik dan kesejahteraan masyarakat begitu nyata. Menjelang 16 tahun berdirinya Kabupaten Tulangbawang Barat, kado istimewa bagi pemimpin yang baru dilantik adalah untuk mengatasi kesenjangan ini dan memastikan program-program pembangunan benar-benar berdampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat.