Penulis :Ansyori Ali Akbar
Di senja sebuah negeri terpencil, jauh di pedalaman, di mana jingga memudar perlahan di balik pegunungan yang menjulang tinggi, bayangan Kakek Amin, kurus dan rapuh, menari-nari di antara ilalang yang berdesir pilu. Bukan tarian gembira, melainkan tarian duka, sebuah balada kehidupan yang dituliskan oleh takdir yang kejam. Rumahnya, hanya sebuah pondok kecil yang reyot, terletak di lereng bukit yang terpencil, jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota.
Dulu, ia adalah matahari keluarga, kehangatannya membasahi setiap jiwa. Kini, ia hanya bayangan yang terlupakan, tersesat di sudut-sudut kehidupan yang keras dan tak berperasaan di pedalaman itu. Kepergian istri tercintanya, bagaikan palu yang menghancurkan fondasi jiwanya, meninggalkan luka menganga yang tak pernah sembuh. Anak-anaknya, yang dulu ia rawat dengan penuh kasih sayang, kini berubah menjadi serigala yang kelaparan, berebut harta warisan dengan rakus, meninggalkan sang ayah terbuang, sebatang kara di reruntuhan rumah yang dulu dipenuhi tawa dan keceriaan.
Dinding-dinding rumah itu, kini menjadi saksi bisu pengkhianatan dan ketidakpedulian yang menyayat hati. Bayangan Kakek Amin yang semakin menua, menari-nari di setiap sudut ruangan yang kosong dan sunyi, menghantui kenangan masa lalu yang indah, mengingatkannya pada kebahagiaan yang telah direnggut paksa. Suara alam, hanya angin dan kicau burung, tak mampu menghapus kesunyian yang mencekam di hatinya.
Rasakan dinginnya malam yang menusuk tulang, merayap ke dalam sumsum tulang Kakek Amin yang renta. Bayangkan tangannya yang keriput, seperti kulit kayu yang lapuk dimakan usia, mencoba menggenggam pekerjaan serabutan yang tak seberapa, upahnya hanya cukup untuk sesuap nasi, suatu perjuangan yang menyayat hati dan meneteskan air mata. Setiap langkahnya adalah perjuangan melawan waktu, melawan rasa lapar yang menggerogoti tubuhnya, melawan kesunyian yang mencekam di pedalaman itu. Ia berbagi sedikit rezekinya dengan anak-anak jalanan yang bernasib sama, seakan berbagi beban kesedihan yang sama beratnya. Air mata yang tak pernah jatuh, menguap menjadi rintihan lirih dalam doa-doa yang dipanjatkannya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Doa-doa yang diiringi oleh desiran angin dan gemerisik daun-daun di pedalaman.
Rasakan kepedihan yang menusuk kalbu ketika ia duduk di beranda pondoknya yang sederhana, tubuhnya yang gemetar menjadi satu kesatuan dengan kesunyian malam yang mencekam. Ia mengemis, bukan karena lemah, melainkan karena dipaksa oleh keadaan yang kejam dan tak berperasaan. Tatapannya yang kosong dan hampa, mencerminkan kekosongan yang menganga di hatinya, kekosongan yang disebabkan oleh ketidakpedulian anak-anaknya yang telah melupakan jasa-jasanya. Hanya bintang-bintang di langit pedalaman yang menjadi saksi bisu kesedihannya. Setiap koin yang jatuh ke dalam mangkuknya yang sederhana, adalah tetesan air mata yang terpendam, suara hati yang terabaikan. Al-Quran yang usang di tangannya, adalah satu-satunya pelarian dari realita yang pahit dan menyedihkan, satu-satunya teman setia yang selalu menemaninya dalam kesunyian pedalaman.
Rasakan amarah yang membuncah, namun tertahan oleh kesabaran yang luar biasa, melihat ketidakadilan yang dialaminya. Rasakan sakitnya dikhianati oleh orang-orang yang seharusnya menyayanginya, orang-orang yang pernah ia sayangi dan rawat dengan penuh kasih sayang. Rasakan keputusasaan yang mencekam, ketika kasih sayang digantikan oleh keserakahan dan ketidakpedulian. Namun, di balik semua itu, terpancar keikhlasan yang luar biasa, kesabaran yang tak terhingga, dan ketabahan yang mengagumkan. Kakek Amin memaafkan, meski hatinya terluka dan hancur. Ia menerima takdirnya dengan lapang dada, menjadikan kesabaran sebagai senjata melawan kepedihan yang mendalam. Kisahnya bukan hanya kisah kesedihan, melainkan kisah keteguhan hati yang luar biasa, sebuah kisah yang akan selamanya terukir di hati, mengingatkan kita akan pentingnya kasih sayang, penghormatan, dan bakti kepada orang tua. Kisah ini akan selalu menghantui, mengingatkan kita pada kesalahan yang mungkin pernah kita lakukan, dan mendorong kita untuk lebih baik, untuk lebih menghargai dan menyayangi orang tua sebelum semuanya terlambat.