Penulis :Ansyori Ali Akbar
Panaragan, Seruntingnews -Di sebuah kampung terpencil di daerah pemekaran Panaragan Kecamatan Tulang Bawang Tengah Kabupaten Tulang Bawang Barat Lampung. berdirilah sebuah gubuk reyot yang hampir roboh diterpa angin. Bau tanah lembab dan kayu lapuk menusuk hidung. Di sanalah, Minak Ibu (90), seorang wanita renta yang hampir mencapai seabad usia, menghabiskan sisa-sisa hidupnya yang rapuh. Kulitnya, keriput dan kendur, menceritakan kisah panjang penderitaan yang telah ia alami. Tulang-tulangnya, menonjol di balik kulit yang tipis, menunjukkan betapa kurusnya tubuhnya, seakan hanya tersisa kulit pembungkus tulang belulang.
Raut wajahnya tak mampu menyembunyikan derita yang terukir jelas di wajahnya yang keriput dan tubuhnya yang kurus kering. Kulitnya tampak kendur, seakan hanya tersisa tulang dan kulit yang menempel. Rumahnya, yang lebih pantas disebut gubuk, terbuat dari balai bambu yang lapuk yang sudah dimakan rayap. Angin kerap menerobos celah-celah dinding yang rapuh, membawa udara dingin yang menusuk tulang. Atapnya bocor di sana-sini, sehingga setiap kali hujan turun, air menggenangi lantai tanah yang dingin dan lembab, menciptakan genangan air yang dingin dan becek. Hanya beberapa perabot seadanya yang mengisi ruangan sempit itu, mencerminkan kemiskinan yang telah lama mencengkeram hidupnya. Bau apak dan lembab memenuhi ruangan kecil itu, bercampur dengan aroma tanah yang basah.
Pada Minggu, 6 April 2025, sekitar pukul 10:15 WIB, tim Jurnalis mengunjungi kediaman Minak Ibu di RT 003 – RW 003, wilayah pemekaran Panaragan. Di sana, kami mendapati Minak Ibu duduk termenung di depan gubuknya, matanya yang sayu menatap kosong ke arah hamparan halaman tanah kosong yang luas. Tatapannya, penuh dengan kelelahan dan keputusasaan yang begitu dalam, namun juga ada secercah harapan yang masih menyala redup di dalamnya, seakan bara api yang hampir padam.
“Kedua anak saya sudah berkeluarga,” katanya, suaranya parau dan lirih, seperti bisikan angin yang lemah. “Yang laki-laki bekerja sebagai buruh serabutan di Palembang, sedangkan yang perempuan ikut suaminya di Serang, Banten. Mereka juga hidup susah, tidak mampu membantu saya.” Air mata kemudian bergulir di pipinya yang keriput, membasahi kulitnya yang kering dan kusam. Ia menceritakan bagaimana ia memutuskan untuk tetap tinggal di Panaragan, meski seorang diri, karena tak ingin menambah beban hidup anak-anaknya yang serba kekurangan. Setiap kata yang keluar dari bibirnya, adalah tetesan air mata yang tak terbendung.
Setiap hari, Minak Ibu berjuang untuk bertahan hidup. Ia bekerja serabutan, melakukan pekerjaan apa saja yang mampu ia kerjakan dengan tubuh renta ini, untuk mendapatkan sedikit uang guna membeli makanan. Kadang ia mendapatkan nasi dingin , kadang hanya sepotong singkong rebus yang terasa hambar di lidahnya. Seringkali, ia harus menahan lapar yang menggigit, perutnya keroncongan, menunggu uluran tangan tetangga yang iba melihat keadaannya. Rasa dingin menusuk tulang menembus pakaiannya yang tipis dan usang. Setiap tarikan napas terasa berat, seakan paru-parunya sesak dan berat untuk bernapas.
“Rumah saya sudah mau roboh, atapnya banyak yang bocor,” katanya, suaranya bergetar, penuh dengan keputusasaan. “Saya hanya bisa berdoa dan berharap ada bantuan dari pemerintah.” Harapannya tertuju pada pemerintah
Penyakit telah lama menjadi teman setia Minak ibu. Tubuhnya seringkali terasa nyeri dan sakit. Ia tak mampu lagi berjalan dengan tegap, langkahnya tertatih-tatih dan penuh kesulitan. Ia hanya bisa duduk atau berbaring di atas tikar usang yang telah lusuh dimakan waktu, kulitnya terasa dingin dan lembab. Obat-obatan? Itu barang mewah yang tak pernah ia sentuh. Setiap tarikan napas terasa berat, seakan paru-parunya sesak.
Matahari terbit dan tenggelam, menandai pergantian waktu yang tak berarti apa-apa bagi Minak ibu. Hari-harinya terasa sama, hanya dipenuhi kesepian, kekurangan, dan penyakit. Namun, di balik semua itu, tersimpan sebuah kekuatan batin yang luar biasa. Di matanya yang sayu, terpancar sebuah ketabahan yang mengagumkan. Ia menerima takdirnya dengan lapang dada, tanpa mengeluh atau menyesali nasibnya. Hanya doa yang menjadi teman setianya.