Oleh : Elia Sunarto
Petang kemarin saat menikmati quality time suasana Ramadan 1446 H di sebuah angkringan di Pulung Kencana. Istri memilih menu kuliner tradisional ala-ala Yogyakarta, aku sibuk bicara dengan seseorang di ujung telepon.
Dia berkabar, ada kepalo tiyuh (sebutan kepala desa di Tubaba) ditangkap dengan persangkaan korupsi Dana Desa (DD). Bersamaan waktu, televisi flat depanku menayangkan perdebatan bahas Koperasi Desa yang digagas pemerintah pusat.
Bicara koperasi itu artinya kita sedang membincang kekuatan ekonomi rakyat yang terpendam, di mana undang-undang telah menginsyaratkannya sebagai “soko guru” perekonomian rakyat.
Bung Hatta, tahun 1974 pernah mengatakan; bahwa hanya koperasi yang mampu mengangkat Rakyat Indonesia dari lumpur kemiskinan. Lalu apa ceritanya dengan Koperasi Desa Merah Putih yang akan diresmikan 12 Juli 2025, bertepatan peringatan Harlah Koperasi ke-78.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto telah memimpin rapat terbatas kabinet membahas kebijakan strategis pemberdayaan ekonomi desa melalui pembentukan Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih).
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDT), melalui Wamendes PDT Ariza Patria menegaskan, kementerian mendukung penuh pembentukan 70 000 Koperasi Desa Merah Putih di seluruh Indonesia sebagai upaya meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan masyarakat desa.
Kebijakan Prabowo bisa blunder, alih-alih menegakkan perekonomian desa. Mengapa tidak menguatkan BUMDes? justru ambisi membentuk lembaga baru. Usaha Kopdes Merah Putih apakah tidak akan tumpang tindih dengan BUMDes?
Penulis yang pernah aktif lama di Gerakan Koperasi mengingatkan, dengan me-review perjalanan panjang koperasi. Tahun 2010 menjelang HUT Koperasi ke-63, muncul narasi besar koperasi digadang-gadang menjadi kekuatan dahsyat untuk menghadapi era perdagangan bebas.
Saat itu Indonesia dan dunia menghadapi tantangan besar, era globalisasi. Ancaman nyata, di mana pasar bebas menggempur deras, menembus hampir seluruh lini kehidupan ekonomi tanah air. Indonesia dibuat menjadi “negara pasar”, sasaran empuk pemasaran berbagai produk dan jasa dari luar negeri.
Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) sebagai induk organisasi koperasi di Indonesia dengan nakhoda Nurdin Halid sebagai ketua umum mendeklarasikan Kebangkitan (kembali) Koperasi.
Meskipun kecil-kecil dan tersebar, tapi jumlahnya banyak. Koperasi diharapkan mampu menjadi penggerak ekonomi anak bangsa.
Paradigma baru dan strategi baru dirancang untuk memberi ruang dan peran besar koperasi turut membangun perekonomian anak bangsa. Maklumat ini tentu saja disambut antusias jejaring gerakan koperasi Indonesia.
Harus diakui, selama ini citra koperasi kita masih negatif, akibat salah urus. Operasional koperasi semestinya dilakukan oleh manajer, bukan dikelola oleh pengurus. Sampai-sampai KUD diplesetkan menjadi ‘ketua untung duluan’, dan Koperasi menjadi ‘kuperasi’.
Rapat Anggota Tahunan (RAT) sebagai forum tertinggi kedaulatan anggota untuk mengevaluasi kinerja pengurus dan pengawas, serta membahas dan menetapkan kebijakan-kebijakan penting koperasi hanya digelar formalitas.
Tapi ini bukan berarti tidak ada koperasi yang baik, koperasi yang sehat pun sudah cukup banyak waktu itu. Sebut salah satunya KUD Kencana Jaya di Tiyuh Mulya Kencana Kecamatan Tulang Bawang Tengah yang pernah berjaya dengan predikat koperasi mandiri tingkat nasional.
Pemerintah telah menggelontorkan triliunan dana melalui berbagai kebijakan skim kredit untuk menggenjot koperasi. Hingga suatu titik, di mana masyarakat phobia ketika mendapat undangan pembentukan koperasi.
Banyak koperasi mati atau mengalami tingginya non performing loan alias kredit macet. Koperasi dituntut mereformasi diri. Mengingat pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga belum tentu memihak kepada pemberdayaan ekonomi rakyat jika tidak ada kebijakan pembangunan ke arah itu.
Membangun kemandirian pangan harus seiring dengan penguatan koperasi agar dapat tumbuh sehat dan kuat. Koperasi harus mengambil peran besar mengembangkan kekuatan agribisnis.
Sebagai badan usaha koperasi harus memiliki kesetaraan kegiatan dengan perusahaan, bukan semata berlandaskan sosial lagi. Koperasi jika ingin maju pengelolanya harus memiliki jiwa entrepreuner.
Di masa Orde Baru, peran koperasi diakui sudah menonjol sangat tinggi. Rejim Soeharto punya kebijakan keberpihakan yang menciptakan kemanjaan. Koperasi dapat mengembangkan usaha meskipun sebatas bertransaksi dengan anggotanya.
Provinsi Jawa Timur dikenang sebagai ‘Lumbung koperasi nasional’ karena populasi koperasi di sana tumbuh subur. Bendera KUD (Koperasi Unit Desa) juga masih berkibar, sementara di daerah lain banyak yang gugur, terkubur dan tinggal kisah pilu.
Belajar dari provinsi ini, mereka punya Komisi Pengendalian Koperasi Simpan Pinjam (KPKS). Kerjanya memburu koperasi abal-abal. Bila ada koperasi ‘jadi-jadian’ pasti dilibas tanpa ampun. Tidak sembarang orang bisa mendirikan koperasi di Jawa Timur.
Siasat membangun kekuatan agribisnis tidak bisa mengabaikan peran koperasi. Koperasi bisa mengambil peran dalam penyediaan modal usaha tani, penyedia saprotan, dan yang tak kalah penting menjadi kunci kesejahteraan anggota, tapi selama ini belum tersentuh, yaitu keberadaan koperasi sebagai offtaker.
Kolaborasi perbankan dengan koperasi juga masih dipertanyakan. Milyaran dana KUR digelontorkan, tapi siapa yang menikmati? Koperasi membutuhkan ‘trust’ perbankan.
Banyak koperasi hidup segan mati tak mau karena kesulitan pembiayaan. Mereka hanya mengandalkan simpanan pokok, simpanan wajib dan kalau ada simpangan sukarela anggota yang nilainya juga terbatas.
Koperasi yang bisa survive dan berkembang rata-rata adalah koperasi yang mendapat dukungan perusahaan, artinya koperasi yang ada di lingkungan perusahaan.
Suara sumbang penolakan Kopdes Merah Putih tidak hanya dikumandangkan kepala desa di Lampung dan Purworejo saja. Sayup-sayup terdengar, kades se-Indonesia telah ancang-ancang demo turun ke jalan jika Prabowo tetap memaksakan Koperasi Desa Merah Putih. Sssst….pernah dengar ada rumor Prabowo alergi didemo?
Wacana Koperasi Merah Putih akan memanfaatkan Dana Desa (DD) telah memicu kegaduhan. Wajar ada penolakan dan minta dikaji ulang. Harus dilakukan refleksi ideologi dan pemikiran tentang perjalanan koperasi. Jangan alih-alih ingin membangkitkan koperasi justru semakin membuat koperasi terjepit.
Minggu ini, riuh pemberitaan media massa nasional berkisar tentang penolakan Kopdes Merah Putih. Menariknya, suara minor itu justru disuarakan kepala-kepala desa. Mengapa?
Karena mereka yang paham dan mengetahui kondisi di lapangan. Mereka yang merasakan, dan mereka pula yang harus bertanggung jawab. Selama ini dalam mengelola DD saja mereka sudah dihadapkan pada buah simalakama.
Wacana Kopdes Merah Putih akan ikut menikmati DD tentu mencederai perasaan tokoh-tokoh perancang program Dana Desa, sebut di antaranya; Budiman Sudjatmiko, Zaidirina Wardoyo, Mochtar Sany, dan Joko Wandyatmoko, Ketua Umum Gerakan Kebangkitan Desa Mandiri (Gerbangsari).
Penulis pernah kepo, berharap Tubaba dapat mengambil manfaat dari pakarnya langsung dalam mengelola DD yang tepat, ketika istri mantan Wakil Bupati Tulang Bawang Heri Wardoyo itu menjabat Pj Bupati Tubaba.
Mirip syair lagu, Dana Desa bukan lagi berkah yang memberi harapan kemakmuran. Tetapi menjadi buah simalakama penyebab leher tergantung. Rumor berkembang pengelolaannya bukan lagi menjadi kedaulatan desa, seperti harapan awal DD digagas.
Terlalu banyak pihak ikut mengatur dan menikmati sehingga program desa yang digagas kepala desa beserta unsur masyarakat malah terkapar belum bisa dilaksanakan.
Dalam hal SPJ, lampiran-lampirannya ada kurang lengkap atau kesalahan kecil dalam LPJ membuat kepala desa mumet dijadikan ‘ATM’ oknum-oknum berbahaya. Terlalu naif kalau ada kepala desa menolak Kopdes Merah Putih kemudian disebut mengkhianati rakyat.
Setelah viral, buru-buru Mendagri Tito Karnavian yang menyebut butuh 5 M per desa untuk membentuk satu Koperasi Merah Putih, buru-buru klarifikasi bahwa sumber pendanaan Kopdes Merah Putih tidak hanya berasal dari DD, tetapi juga dari APBN, APBD, Himbara, serta CSR perusahaan nasional dan internasional.
Di sini bukan soal angka-angka bombastis yang seperti dahulu pernah membius mereka berminat besar ingin menjadi kepala desa. Tapi kesadaran kolektif jangan sampai issu korupsi dan penangkapannya diratakan di kelas bawah.
Akhirnya mereka kompak minta dicabut saja, silakan DD dikelola oleh pusat. Biar kepala desa menjadi pengelola manfaat dan pengawas saja. Mereka cuma meminta dinaikkan gaji, atau berharap kesejahteraan ditingkatkan.
Rasanya keliru, jika pendekatan yang digunakan mendirikan koperasi karena ada program pemerintah. Sekali lagi rencana mendirikan 70.000 Koperasi Desa Merah Putih harus dikaji ulang. Pemerintah harus mendengar suara arus bawah. Tabik.
Tubaba, 13 Maret 2025