Oleh : Joni Efendi
KESEJAHTERAAN tenaga honorer masih jauh dari kata layak, pasalnya gaji yang mereka dapatkan tidak sesuai dengan tanggung jawab yang mereka emban. Benar, tidak menerima prestasi, salah di maki. Dengan dalih ‘mencintai pekerjaan’ mereka tetap bertahan.
Mirisnya saat ini tidak jarang tenaga honorer yang diperlakukan layaknya ‘Pembantu’ dengan pekerjaan yang menggunung namun pendapatan sangat minim. Bahkan tenaga honorer juga yang mengerjakan pekerjaan para PNS. Para honorer juga kerap mendapat perlakuan kurang pantas.
Seperti belasan tenaga honorer di Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung. Alih-alih menerima insentif, justru mereka harus menanggung upah cleaning service selama satu tahun. Masing-masing honorer ini di bebankan Rp 75 ribu perbulan.
Bahkan sumber (honorer) mengaku mendapat ancaman akan ‘dipecat’ jika pungutan terhadap tenaga honorer tersebut bocor. Para honorer ini hanya bisa pasrah meski kebijakan itu dianggap memberatkan. Terlebih gaji mereka hanya berkisar Rp800 ribu perbulan.
Namun pihak Bapenda menyangkal. Kasubag Umum Tuti Ariyani mengatakan, pihaknya tidak pernah mengambil tindakan pemotongan senilai Rp 75 ribu. Terkait gaji honorer itu langsung ke rekening masing-masing.
Adapun terkait uang 75 ribu tersebut, dia berkilah atas dasa kesepakatan dan sukarelah. Mengenai gaji mereka, itu langsung masuk ke rekening masing-masing. Jadi kami tidak tahu menahu. Mungkin itu atas dasar kesepakatan dan sukarela,” kata Kasubag Tuti Ariyani.
Akan tetapi pernyataan tersebut ganjil. Pasalnya alasan pemungutan uang dari belasan tenaga honorer itu akan diperuntukan untuk bonus cleaning service di kantor tersebut. Kebijakan bonus atau insentif untuk pegawai di setiap satuan kerja, tentu merupakan kebijakan pimpinan.
Terkait pengakuan pihak Bapenda jika kepala badan tidak mengetahui pungutan belasan para honorer itu wajib dipertanyakan. Pasalnya, selain pimpinan tidak akan berani membuat kebijakan, terlebih bonus atau insentif honorer yang tidak wajib dibayar. Sudah jelas keputusan itu adalah kebijakan pimpinan.
Akan tetapi terkait sumber dana yang berasal dari pegawainya sendiri, bisa jadi pimpinan tidak mengetahuinya. Setiap kebijakan, tentu pimpinan sangat menguasai sumber dana yang akan digunakan. Namun jika sumber dana berasal dari sumbangan gaji honorer, tentu hal itu tidak dibenarkan. Apapun alasannya.
Setiap badan atau kantor, terlebih lembaga pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memenuhi hak para pegawainya. Dan bukan malah dilimpahkan dengan para pekerja. Apalagi bonus atau insentif tersebut merupakan kebijakan, tidak elok jika dibebankan dengan para buruh pemerintah tersebut.
Pemerintah Pusat Perjuangkan Nasib Honorer
Nasib tenaga honorer di instansi pemerintah daerah tahun 2025 menjadi atensi pemerintah pusat. Hal itu sejalan dengan Amanah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 yang hanya mengenal PNS dan PPPK sebagai pegawai pemerintah.
Beberapa hal yang menjadi fokus bahasan yakni tentang nasib jutaan tenaga honorer di pemerintah daerah. Kemendagri dan PANRB mendorong agar pemerintah provinsi menyelesaikan alih status honorer dengan skema PPPK penuh waktu dan paruh waktu.
Terkait hal tersebut, Pj. Bupati Tulang Bawang Barat M. Firsada seharusnya cepat tanggap dengan semua masalah yang terjadi di daerah yang dia pimpin. Terlebih masalah itu terkait para honorer. Pemerintah daerah seharusnya mendukung pemerintah pusat yang saat ini sedang gencar memperjuangkan para honorer.
Jika menelaah kondisi tersebut, pungutan dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan honorer sangat tidak sejalan dengan program pemerintah. Terlebih alasan untuk membayar bonus pegawai, di saat pemerintah pusat sedang memperjuangkan nasib para honorer ini. Sangat memalukan, apapun alasannya.
Ini masalah kecil, namun kurang elok. Untuk itu peristiwa miris ini harus menjadi catatan pimpinan di daerah itu. Pimpinan satuan kerja tidak perlu sibuk membuat kebijakan jika sumber dananya belum jelas.
Peran Inspektorat Kurang Optimal
Keberadaan inspektorat daerah dinilai masih tak berfungsi secara maksimal dalam melakukan pengawasan internal pemerintah. Kerja inspektorat terkesan hanya menunggu laporan masyarakat. Akibatnya, fungsi pengawasan internal pemerintah daerah belum berkontribusi signifikan.
Hal itu disebabkan inspektorat daerah masih masuk dalam jajaran SKPD sehingga mereka tidak leluasa dalam melaporkan dugaan penyimpangan di tingkat pemerintahan daerah (pemda). Masalahnya ada pada independensi jajaran APIP. Inspektorat seharusnya tidak berada di bawah eksekutif daerah.
Dengan demikian, pengawasan bisa berjalan dengan baik. Lembaga ini memiliki peran dan unit kerja yang sangat strategis baik dari aspek fungsi dan tanggung jawab dalam manajemen maupun dari segi pencapaian visi dan misi serta program-program pemerintah.
Inspektorat daerah mempunyai kedudukan setara dengan fungsi perencanaan atau pelaksanaan. Sedangkan dari segi pencapaian visi, misi dan program-program pemerintah, Inspektorat menjadi pilar yang bertugas dalam melakukan pengawasan pelaksanaan pembinaan penyelenggaraan pemerintahan.
Untuk itu inspektorat daerah harus menjaga marwah dan tanggap dalam setiap persoalan daerah yang terjadi. Seperti peristiwa pungutan dana terhadap belasan honorer di kantor Bapenda di daerah itu. Tidak terkesan inspektorat hanya penjadi wayang yang di pajang sebagai pelengkap instansi pemerintah daerah.
#Keluarga Lunik Media Online (Kelamo) Grup