Pada Akhirnya Hanya Kebenaran yang Akan Menang

OPINI

Oleh : Elia Sunarto – IG @elia.sunarto *)

PANGGUNG perpolitikan Indonesia akhir-akhir ini, seperti yang dialami Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan), kita sepakat bahwa percaturan politik tanah air sedang tidak baik-baik saja.

Tak hanya partai politik besutan trah Soekarno, beberapa parpol juga ricuh kemelut pengambilalihan pucuk pimpinan. Sebut saja sebelumnya, ada Partai Demokrat, Partai Golkar, PPP dan yang hampir juga mengalami adalah PKB.

PDI Perjuangan lahir dari dinamika politik Orde Baru, fusi dari partai-partai; Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Partai Murba).

Sejak dideklarasikan pada 10 Januari 1973 partai berlambang Banteng ini terus diusik, disulut kemelut berkepanjangan.

Bagi loyalis Megawati Soekarnoputri tentu tidak akan melupakan peristiwa 27 Juli 1996. Tragedi berdarah penyerangan kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro No. 58, Menteng, Jakarta Pusat.

Pada insiden ‘Sabtu Kelabu’ yang dikenang sebagai KUDATULI (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli) itu, kantor DPP PDI digerudug massa bayaran dan pendukung PDI kubu Soerjadi yang dibekingi pemerintah.

Mereka ingin merebut paksa lewat kekerasan kantor pusat dan mencongkel Megawati Soekarnoputri untuk mendudukkan kembali Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Ini peristiwa terkelam dalam sejarah demokrasi, terkait dualisme partai politik di Indonesia.

Jakarta mencekam, kerusuhan dua hari di Jalan Diponegoro, terus meluas di wilayah Jakarta, khususnya kawasan Jalan Diponegoro, Salemba dan Kramat. Sejumlah kendaraan dan gedung terbakar.

Dirgahayu PDI Perjuangan ke-52

Kini, menjelang kongres partai yang rencananya digelar April 2025 nanti, intrik menumbangkan Megawati dari ketua umum getarannya kembali menguat.

Agitasi politik ditebar, spanduk “Ketua Umum Ilegal, DPP Ilegal” menghiasi berbagai jembatan penyeberangan di Jakarta. Tekanan politik tensinya terus meningkat, seputar penetapan tersangka Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto.

Pemanggilan sejumlah kader PDI Perjuangan mengindikasikan hal itu. Yassona Laoly, Donni Istiqomah, Maria Lestari, Basuki Tjahaya Purnama, Saiful Basri dan Rizki Aprilia bergantian sudah dimintai keterangan oleh KPK. Termasuk, mereka yang sudah pernah diperiksa KPK lima tahun lalu.

Tak ditemukan hal baru. Semua yang diperoleh sama seperti keterangan sebelumnya. Tak ada yang berubah, persis dalam BAP maupun fakta persidangan. Lebih mencengangkan lagi dalam penggeledahan dua tempat tinggal Hasto Kristiyanto.

Dramatisasi ala-ala KPK. Puluhan anggota KPK dan belasan polisi terlihat menyeret koper besar yang isinya, ternyata hanya sebuah flash dish dan buku catatan berukuran 10 cm x 21 cm berlogo partai setebal 14 halaman.

Muncul sejumlah nama yang tidak ada kaitannya dengan PDI Perjuangan, ikut memperkeruh, serta rentetan pertemuan sejumlah tokoh yang mengindikasikan adanya keterlibatan pihak-pihak eksternal.

Berkelindan dengan itu semua, aksi-aksi demonstrasi menuntut penangkapan Harun Masiku dan Sekjen PDI Perjuangan terus dibangun, ikut mewarnai. Menjatuhkan Megawati Soekarnoputri sama artinya dengan melumpuhkan barisan Banteng Moncong Putih.

Penulis pernah merasakan bangga dan heroiknya semboyan “Biar Gepeng Tetap Banteng”. Slogan Jas Merah (Jangan sekali-kali Melupakan Sejarah) memang layak dan identik dengan partai ini, bukan semata karena uniformnya merah menyala.

Apakah Mega memusuhi Prabowo?

Tegas jawabnya, tidak! Instruksi Megawati Soekarnoputri pada kadernya adalah, PDI Perjuangan mendukung pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Penegasan itu bahkan disampaikan sebelum hari pelantikan presiden dan wakil presiden.

Menarik, meskipun PDI Perjuangan akan bekerja sama dengan pemerintahan Prabowo Subianto, namun Mega tegas menyatakan tidak mengirim kader/anggota PDI Perjuangan duduk di kabinet bentukan Presiden Prabowo.

Kita ingin politik yang berkembang di Indonesia tidak mengabaikan etika dengan membenarkan kejahatan apa pun. Upaya mengobok-obok PDI Perjuangan juga masive di internal partai.

Isu regenerasi kepemimpinan digulirkan untuk memantik perpecahan, dua cucu Soekarno sudah lama digadang-gadang layak menggantikan Megawati.

H. Muhammad Prananda Prabowo, cucu Presiden pertama Ir. Soekarno, putra kandung Megawati Soekarnoputri dari suami pertamanya, Kapten Pnb Surindro Supjarwo (alm).

Hj. Puan Maharani Nakshatra Kusyala Devi, juga memiliki garis keturunan yang sama, lahir dari pasangan Megawati Soekarnoputri dari suaminya, Taufik Kiemas. Keduanya aktif dan diakui memiliki kontribusi besar dalam membesarkan partai serta layak jadi penerus Megawati.

Melihat usia Ibu Mega memang sepantasnya Beliau lengser keprabon, akan tetapi ancaman besar pembusukan PDI Perjuangan harus menjadi kajian.

Ibu Mega yang sepanjang konflik terjadi telah menjadi simbol perlawanan sekaligus pemersatu di tubuh PDI Perjungan, tidak boleh mundur. Ini panggilan sejarah untuk menyelamatkan partai, teruskan!

Penulis sepakat Ibu Megawati Soekarnoputri harus dinobatkan kembali menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan 2025-2030.

Satyam Eva Jayate. (*)

___________

Penulis seorang Marhaenis, kader dan mantan Ketua PAC Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Kec. Tulang Bawang Tengah, Kab Dati II Lampung Utara, dan mantan Ketua (periode pertama) PAC PDIP Kec. Tulang Bawang Tengah, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *